9/18/2009

AKHLAK TASHAWWUF


BAB I
PENGERTIAN DASAR-DASAR QURANI
DAN PERKEMBANGAN TASHAWUF

1. Pengertian Akhlak dan Tashawuf
Secara bahasa akhlak berasal dari kata أخلق – يخلق – أخلاقا artinya perangai, kebiasaan, watak, peradaban yang baik, agama. Menurut istilah seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Miskawaih yaitu sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melaksanakan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Menurut Imam Ghazali, akhlak adalah sifat yang mudah tertanam dalam jiwa yang menimbulkan bermacam-macam perbuatan yang mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan
Sedangkan menurut bahasa Tashawuf berarti Shaf (baris), Shufi (suci), Sophos (yunani hikmah). Menurut istilah ada beberapa pengertian yaitu (1) Upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah SWT. (2), kegiatan yang berkenaan dengan pembinaan mental ruhaniah agar selalu dekat dengan tuhan.
Akhlak dan tashawuf saling berkaitan. Akhlak dalam pelaksanaannya mengatur hubungan horizontal anatara sesama manusia, sedangkan tashawuf, mengatur jalinan komunikasi vertikal antara manusia dan Tuhannya. Akhlak menjadi dasar dari pelaksanaan tashawuf, karena dalam prakteknya tashawuf mementingkan akhlak.
2. Dasar-dasar Tasawuf
Proses penyucian diri di dalam ajaran Islam sangatlah dianjurkan, hal ini berkaitan erat dengan apa yang menjadi tujuan manusia dalam menjalani kehidupan beragamanya. Umat Islam, dalam menjalankan segala perintah yang termuat dalam firman Allah (Al Quran dan Hadits) semuanya adalah untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Proses pencapaiannya tidak mudah, semua yang dilakukannya haruslah sesuai dengan apa yang telah disyari’atkan oleh agama yang diwahyukan melalui rasul-Nya.
Adapun yang menjadi dasar ajaran tashawuf dalam Islam adalah sebagai berikut :
- Al Quran mengajarkan manusia untuk mencintai Tuhan (Q.S Ql Maidah :54)
- Bertaubat dan mensucikan diri (Q.S. AT Tahrim :8)
- Manusia selalu dalam pandangan Allah di mana saja (Q.S. Al Baqarah :110)
- Tuhan memberi cahaya kepada hambanya (Q.S. An Nur : 35)
- Sabar dalam bertaqorub kepada Allah (Q.S. Al Imron :3)
- Hadits nabi tentang rahasia penciptaan alam adalah agar manusia mengenal penciptanya
- Praktek para sahabat seperti Abu Baka Siddiq, Umar, Utsman, Ali bin Abi Thalib, dan lain-lain.
3. Sejarah Ilmu Tasawuf
Sejarah tasawuf dimulai dengan Imam Ja’far Al Shadiq ibn Muhamad Baqir ibn Ali Zainal Abidin ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Imam Ja’far juga dianggap sebagai guru dari keempat imam Ahlulsunah yaitu Imam Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i dan Ibn Hanbal.
Ucapan-ucapan Imam Ja’far banyak disebutkan oleh para sufi seperti Fudhail ibnu Iyadh Dzun Nun Al Mishri, Jabir ibnu Hayyan dan Al Hallaj. Diantara imam mazhab di kalangan Ahlulsunah, Imam Maliki yang paling banyak meriwayatkan hadis dari Imam Ja’far.
Kaitan Imam Ja’far dengan tasawuf, terlihat dari silsilah tarekat, seperti Naqsyabandiyah yang berujung pada Sayyidina Abubakar Al Shidiq ataupun yang berujung pada Imam Ali selalu melewati Imam Ja’far.
Kakek buyut Imam Ja’far, dikenal mempunyai sifat dan sikap sebagai sufi. Bahkan (meski sulit untuk dibenarkan) beberapa ahli menyebutkan Hasan Al Bashri, sufi-zahid pertama sebagai murid Imam Ali. Sedangkan Ali Zainal Abidin (Ayah Imam Ja’far) dikenal dengan ungkapan-ungkapan cintanya kepada Allah yang tercermin pada do’anya yang berjudul “Al Shahifah Al Sajadiyyah”.
Tasawuf lahir dan berkembang sebagai suatu disiplin ilmu sejak abad k-2 H, lewat pribadi Hasan Al Bashri, Sufyan Al Tsauri, Al Harits ibn Asad Al Muhasibi, Ba Yazid Al Busthami. Tasawuf tidak pernah bebas dari kritikan dari para ulama (ahli fiqh, hadis dll).
Praktik-praktik tasawuf dimulai dari pusat kelahiran dan penyiaran agama Islam yaitu Makkah dan Madinah, jika kita lihat dari domisili tokoh-tokoh perintis yang disebutkan di atas.
Pertumbuhan dan perkembangan tasawuf di dunia Islam dapat dikelompokan ke dalam beberapa tahap :
 Tahap Zuhud (Asketisme)
Tahap awal perkembangan tasawuf dimulai pada akhir abad ke-1H sampai kurang lebih abad ke-2H.
Gerakan zuhud pertama kali muncul di Madinah, Kufah dan Basrah kemudian menyebar ke Khurasan dan Mesir. Awalnya merupakan respon terhadap gaya hidup mewah para pembesar negara akibat dari perolehan kekayaan melimpah setelah Islam mengalami perluasan wilayah ke Suriah, Mesir, Mesopotamia dan Persia.
Tokoh-tokohnya menurut tempat perkembangannya :
1. Madinah
Dari kalangan sahabat Nabi Muhammad Saw, Abu Ubaidah Al Jarrah (w. 18 H); Abu Dzar Al Ghiffari (W. 22 H); Salman Al Farisi (W.32 H); Abdullah ibn Mas’ud (w. 33 H); sedangkan dari kalangan satu genarasi setelah masa Nabi (Tabi’în) diantaranya, Said ibn Musayyab (w. 91 H); dan Salim ibn Abdullah (w. 106 H).
2. Basrah
Hasan Al Bashri (w. 110 H); Malik ibn Dinar (w. 131 H); Fadhl Al Raqqasyi, Kahmas ibn Al Hadan Al Qais (w. 149 H); Shalih Al Murri dan Abul Wahid ibn Zaid (w. 171 H)
3. Kufah
Al Rabi ibn Khasim (w. 96 H); Said ibn Jubair (w. 96 H); Thawus ibn Kisan (w. 106 H); Sufyan Al Tsauri (w.161 H); Al Laits ibn Said (w. 175 H); Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H).
4. Mesir
Salim ibn Attar Al Tajibi (W. 75H); Abdurrahman Al Hujairah ( w. 83 H); Nafi, hamba sahaya Abdullah ibn Umar (w. 171 H). Pada masa-masa terakhir tahap ini, muncul tokoh-tokoh yang dikenal sebagai sufi sejati, diantaranya, Ibrahim ibn Adham (w. 161 H); Fudhail ibn Iyadh (w. 187 H); Dawud Al Tha’i (w. 165 H) dan Rabi’ah Al Adawiyyah.
 Tahap Tasawuf (abad ke 3 dan 4 H )
Paruh pertama pada abad ke-3 H, wacana tentang Zuhud digantikan dengan tasawuf. Ajaran para sufi tidak lagi terbatas pada amaliyah (aspek praktis), berupa penanaman akhlak, tetapi sudah masuk ke aspek teoritis (nazhari) dengan memperkenalkan konsep-konsep dan terminology baru yang sebelumnya tidak dikenal seperti, maqam, hâl, ma’rifah, tauhid (dalam makna tasawuf yang khas); fana, hulul dan lain- lain.
Tokoh-tokohnya, Ma’ruf Al Kharkhi (w. 200 H), Abu Sulaiman Al Darani (w. 254 H), Dzul Nun Al Mishri (w. 254 H) dan Junaid Al Baghdadi.
Muncul pula karya-karya tulis yang membahas tasawuf secara teoritis, termasuk karya Al Harits ibn Asad Al Muhasibi (w. 243 H); Abu Said Al Kharraz (w. 279 H); Al Hakim Al Tirmidzi (w. 285 H) dan Junaid Al Baghdadi (w. 294 H)
Pada masa tahap tasawuf, muncul para sufi yang mempromosikan tasawuf yang berorientasi pada “kemabukan” (sukr), antara lain Al Hallaj dan Ba Yazid Al Busthami, yang bercirikan pada ungkapan – ungkapan ganjil yang sering kali sulit untuk dipahami dan terkesan melanggar keyakinan umum kaum muslim, seperti “Akulah kebenaran” (Ana Al Haqq) atau “Tak ada apapun dalam jubah-yang dipakai oleh Busthami selain Allah” (mâ fill jubbah illâ Allâh), kalau di Indonesia dikenal dengan Syekh Siti Jenar dengan ungkapannya “Tiada Tuhan selain Aku”.
 Tahap Tasawuf Falsafi (Abad ke 6 H)
Pada tahap ini, tasawuf falsafi merupakan perpaduan antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis. Ibn Arabi merupakan tokoh utama aliran ini, disamping juga Al Qunawi, muridnya. Sebagian ahli juga memasukan Al Hallaj dan Abu (Ba) Yazid Al Busthami dalam aliran ini.
Aliran ini kadang disebut juga dengan Irfân (Gnostisisme) karena orientasinya pada pengetahuan (ma’rifah atau gnosis) tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu.
 Tahap Tarekat ( Abad ke-7 H dan seterusnya )
Meskipun tarekat telah dikenal sejak jauh sebelumnya, seperti tarekat Junaidiyyah yang didirikan oleh Abu Al Qasim Al Juanid Al Baghdadi (w. 297 H) atau Nuriyyah yang didirikan oleh Abu Hasan Ibn Muhammad Nuri (w. 295 H), baru pada masa-masa ini tarekat berkembang dengan pesat.
Seperti tarekat Qadiriyyah yang didirikan oleh Abdul Qadir Al Jilani (w. 561 H) dari Jilan (Wilayah Iran sekarang); Tarekat Rifa’iyyah didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 578 H) dan tarekat Suhrawardiyyah yang didirikan oleh Abu Najib Al Suhrawardi (w. 563 H). Tarekat Naqsabandiyah yang memiliki pengikut paling luas, tarekat ini sekarang telah memiliki banyak variasi , pada mulanya didirikan di Bukhara oleh Muhammad Bahauddin Al Uwaisi Al Bukhari Naqsyabandi.
Secara teologis, Islam adalah sistem nilai dan ajaran yang bersifat ilahiyah. Seecara historis-sosiologis, ia merupakan realitas sosial dan sistem pemikiran yang hidup dalam sejarah.
Pada tataran kesejarahan ini, Islam tidak lagi terdiri dari doktrin yang pasif-statis, tetapi mewujud dalam institusi dan sistem pemikiran tertentu yang dinamis. Oleh karena sifatnya yang dinamis, maka Islam pada saat tertentu mengalami kemajuan, pada saat yang lain mengalami kemunduran Manakala melacak dalam sejarah pemikiran Islam klasik, maka tidak sulit dijumpai jejak-jejak dinamika Islam tersebut, baik dalam filsafat, kalam, fiqih dan tasawuf. Tulisan ini hendak mengurai secara singkat dinamika pergumulan Islam dengan sejarah, kemudian memetakan pola penalaran dan mencari relevansi metodologis untuk pemecahan problem kekinian.


BAB II
KERANGKA BERPIKIR IRFANI MENGENAI DASAR-DASAR FILOSOFI AHWAT DAN MAQOMAT
A. Kerangka Berfikir Irfani
Di samping tasawuf, Islam juga mengenal ajaran ruhani (ilmu) lainnya yang disebut ’irfan (Anwar, 2002: 47). Menurut Ruhullah Syams, sebagaimana yang dilihat secara umum istilah ’irfan dan tasawuf digunakan secara sinonim di dunia Islam hari ini .
C. Ramli Bihar Anwar (2002:47) mengatakan, Irfani muncul untuk pertama kalinya sebagai reaksi atas praktik-praktik tasawuf tertentu dalam dunia Syiah yang dianggap telah menyimpang dari syariat. Karena itu, di dalam ’irfan sangat mementingkan syariat sebagai dasar bertasawuf.
Irfan secara etimologi bermakna pengetahuan, sebab itu irfan dan tasawuf Islam menunjukkan suatu bentuk pengetahuan, bahwa perjalanan sair suluk (riyâdhâ) seorang hamba kepada Allah Swt. akan meniscayakan suatu bentuk pengetahuan yang lebih hakiki dari pada pengetahuan konsepsi (tashawwur) dan afrimasi (tashdiq) panca indra dan akal. Sebab itu bentuk pengetahuan irfani adalah hudhuri (presentif), bahkan bentuk pengetahuan hudhuri yang memiliki derajat tinggi.
Para sufi adalah urafa (jamak dari arif), yakni mereka yang memperoleh pengetahuan hakiki ontologis. Pengetahuan yang diawali dengan makrifat nafs yang kemudian menyampaikan kepada makrifat Rabb (Man ‘arafa nafsahu fa qad ‘arafa rabbahu ).
Menurut Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin (2000: 69), kerangka irfani yaitu lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di kalangan sufi secara rasa (rohaniah). Manusia tidak akan tahu banyak mengenai penciptaan-Nya apabila belum melakukan perjalanan menuju Allah walaupun ia adalah orang yang beriman secara aqliyah.
Hal ini karena adanya perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah atau logis teoritis (al- iman al-aqli an-Nazhari) dan iman secara rasa (al-iman asy-syu’ri ad-dzauqi). Lingkup irfani ini tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud yaitu maqam-maqam (tingkatan atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal).
Berdasarkan batasan tema bahasan yang telah ditentukan, Kerangka Berpikir Irfani: Dasar-dasar Falsafi Ahwal dan Maqamat. Adapun sub telaahan kami adalah :
A. Pengertian dan Perbedaan Maqam dan Ahwal
B. Macam-Macam Maqam dalam Tasawuf
C. Perihal dalam Perjalanan Sufi
D. Metode Irfani
Semoga dalam memahami ilmu tasawuf khususnya kerangka berpikir irfani ini tidak sebatas teoritis, tapi aplikatif. Sehingga, tujuan penelaahan dapat tercapai, yakni pendalaman ilmu guna kemaslahatan umat.
B. Pengertian dan Perbedaan Maqam dan Ahwal Al-Maqamat

Al-Maqamat
Banyak jalan dan cara yang ditempuhi seorang sufi dalam meraih cita-cita dan tujuannya mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah s.w.t seperti memperbanyakkan zikir, beramal soleh dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam perjalanan spiritualnya, seorang sufi pasti menempuh beberapa tahapan. Tahapan-tahapan itu disebutkan Maqamat/stasiun (jama’ dari maqam).
Syamsun Ni'am (2001: 51) menambahkan, jalan itu sangat sulit dan untuk berpindah dari satu maqam ke maqam lain memerlukan usaha yang berat dan waktu yang tidak singkat. Dengan kata lain, maqam adalah tingkatan salik dalam beribadah melalui latihan bertahap guna membangun jiwa seorang hamba Allah s.w.t.
A. Rivay Siregar (2002: 113), menjelaskan bahwa di kalangan sufi, orang pertama yang membahas masalah al-maqamat atau jenjang dan fase perjalanan menuju kedekatan dengan Tuhan, adalah al Haris ibnu Asad al-Muhasibi (w.243 H). Namun, siapapun yang pertama menyusun al-maqomat, tidaklah dipermasalahkan, tetapi yang pasti adalah sejak abad tiga hijriyah setiap orang yang ingin mencapai tujuan tasawuf , ia harus menempuh jalan yang berat dan panjang, melakukan berbagai latihan amalan, baik amalan lahiriah maupun batiniah .
Al-Ahwal
Menurut sufi, al-ahwal-jamak dari al-hal-dalam bahasa Inggris disebut state, adalah situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah, bukan dari hasil usahanya (Rivay, 2002: 131). Dengan kata lain, seorang salik (penempuh jalan tarekat) yang serius hatinya dipenuhi dengan bersitan-bersitan hati, sehingga banyak hal dan sifat yang kemudian berubah dalam dirinya. Sebagian sufi sepakat menyebut gejala ini sebagai ahwal, dan sebagian sufi lain menyebutnya sebagai maqamat (kedudukan/tingkatan) (Abdul Fattah, 2000: 107).
Namun, penulis lebih sependapat dengan Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin (2000:71) yang mengatakan bahwa hal sama dengan bakat, sedangkan maqam diperoleh dengan daya dan upaya. Jelasnya, hal tidak sama dengan maqam, keduanya tidak dapat dipisahkan.
C. Macam-Macam Maqam dalam Tasawuf
Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam al-maqamat tersebut antara lain:
1. Taubat
Secara bahasa, taubat berarti kembali. Kembali kepada kebenaran yang dilegalkan Allah swt. dan diajarkan Rasulullah s.a.w. Taubat merupakan upaya seorang hamba menyesali dan meninggalkan perbuatan dosa yang pernah dilakukan selama ini.
Menurut Sayyid Abi Bakar Ibnu Muh. Syatha (2003: 42), taubat adalah kembali dari segala sesuatu yang dicela oleh Allah menuju ke arah yang dipuji oleh-Nya. Taubat adalah tahap pertama dalam menempuh tahap-tahap berikutnya. Taubat adalah jalan untuk membersihkan segala dosa. Setelah manusia dilumuri berbagai dosa. Tanpa adanya taubat seorang salik tidak akan dapat menempuh jalan menuju Allah s.w.t.
Ada banyak definisi taubat di kalangan sufi, Abul Husain an-Nuri, mengungkapkan definisi tentang taubat. "Taubat adalah menolak dari semua, kecuali Allah yang Maha Tinggi", dan pemikiran yang sama dari penyesalan tahap tertinggi adalah berbeda sama sekali dari yang biasa terjadi, sebagaimana ditemukan dalam suatu pernyataan, "Dosa-dosa bagi mereka yang dekat dengan Allah s.w.t. adalah suatu perbuatan baik yang pada tempatnya". Sedang al-Ghazali menyatakan, bahawa hakikat taubat adalah kembali dari maksiat menuju taat, kembali dari jalan yang jauh menuju jalan yang dekat.
Taubat yang dilakukan adalah taubat yang sungguh-sungguh (taubatan nasuhan)(Abdul Kadir al-Jilani, 2003: 73). Dalam hal ini, baik hati, lisan dan amal mencerminkan pertobatan. Beliau menganalogikan seseorang yang bertaubat nasuha seperti menggali akar (dosa) umbi dengan cangkul berupa didikan ruhaniah dari guru atau syekh yang sebenarnya (guru munsyid). Sebelum berladang atau berkebun, tanahnya harus dibersihkan terlebih dahulu dari akar-akar pohon, tunggul-tunggul pohon, dan semak-semak belukar. Rasulullah s.a.w. pernah ditanya seorang sahabat, “Apakah penyesalan itu taubat?” Rasulullah s.a.w. menjawab, “Ya.” (HR. Ibnu Majah) Amr bin Ala pernah mengatakan, “Taubat nasuha adalah apabila kamu membenci perbuatan dosa sebagaimana kamu mencintainya.”
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah pernah mengatakan bahwa taubat yang murni itu mengandungi tiga unsur: Pertama : taubat yang meliputi atas keseluruhan jenis dosa, tidak ada satu dosa pun melainkan bertaubat karenanya; Kedua : membulatkan tekad dan bersungguh-sungguh dalam bertaubat, sehingga tiada keraguan dan menunda-nunda kesempatan untuk bertaubat; dan Ketiga : menyucikan jiwa dari segala kotoran dan hal-hal yang dapat mengurangi rasa keikhlasan, khauf kepada Allah s.w.t dan menginginkan karunia-Nya.
Salah satu unsur taubat yang harus dipenuhi adalah adanya penyesalan diri atas dosa-dosa yang dilakukan kepada Allah s.w.t. Sebagaimana yang dikatakan al-Qusyairi dalam Syamsun Ni’am (2001: 52), "Menyesali kesalahan adalah cukup untuk memenuhi syarat pertaubatan", demikian kata mereka yang telah melaksanakannya, karena tindakan tersebut mempunyai akibat berupa dua syarat yang lain. Artinya, orang tidak mungkin bertaubat dari suatu tindakan yang tetap dilakukan atau yang ia mungkin bermaksud melakukannya. Inilah makna taubat secara umum.
Taubat dari segala kesalahan tidak membuat seorang manusia terhina di hadapan Tuhannya. Justru, akan menambah kecintaan dan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya. Karena Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222) Karena itu, ingat syarat taubat nasuha. Antara lain, pertama, segera meninggalkan dosa dan maksiat, kedua, menyesali dengan penuh kesadaran segala dosa dan maksiat yang telah dilakukan dan ketiga, bertekad untuk tidak akan mengulangi dosa. Abdul Kadir al-Jilani (2003: 75) menegaskan bahwa tanda taubat yang diterima Allah s.w.t. adalah seseorang tidak akan mengulangi perbuatan dosa.
2. Zuhud
Secara bahasa Zuhud : Zuhd (Arab) darwis; pertapa dalam Islam; orang yang meninggalkan kehidupan duniawi, mempunyai sikap tidak terbelenggu oleh hidup kebendaan. Amin Syukur (1997: 1) menambahkan, zuhud berarti mengasingkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Sedangkan orang yang memiliki sikap zuhud disebut zahid.
Dalam tasawuf zuhud dijadikan maqam dalam upaya melatih diri dan menyucikan hati untuk melepas ikatan hati dengan dunia (Simuh, 1997: 58). Al-Ghazali mengatakan, zuhud berarti membenci dunia demi mencintai akhirat (Abdul Fattah, 2000: 117). Sedang menurut, Abu Sulaiman al-Darani dalam Simuh , zuhud adalah meninggalkan segala yang melalaikan hati dari Allah. Al-Junaid menyatakan bahwa zuhud adalah,”bahwa tangan terbebas dari harta dan hati terbebas dari angan-angan.” Michael A. Sells ( 2004: 266), seorang profesor perbandingan agama Haverford College berpendapat, zuhud adalah mengendalikan apa yang dihalalkan dan menjadi sebuah kewajiban melepaskan perkara yang diharamkan dan subhat.
Ragam penafsiran mengenai zuhud ini, tetapi semuanya berkonotasi pada mengurangi dan jika mungkin mengabaikan kehidupan duniawi dengan segala kenikmatannya (Rivaiy, 2002: 116). Sehingga secara sederhana zuhud adalah sikap seseorang dalam memandang perkara duniawi secara tidak berlebihan.
Zuhud adalah salah satu akhlak utama seorang muslim. zuhud adalah karakteristik dasar yang membedakan antara seorang mukmin sejati dengan mukmin awam. Apalagi seorang dai. Jika orang banyak mengatakan dia ”sama saja”, tentu nilai-nilai yang didakwahinya tidak akan membekas ke dalam hati orang-orang yang didakwahinya. Dakwahnya layu sebelum berkembang. Karena itu, setiap mukmin, terutama para dai, harus menjadikan zuhud sebagai perhiasan jati dirinya. Rasulullah saw. bersabda,”Zuhudlah terhadap apa yang ada di dunia, maka Allah akan mencintaimu. Dan zuhudlah terhadap apa yang ada di sisi manusia, maka manusia pun akan mencintaimu” (HR Ibnu Majah dan Al-Hakim)
Makna dan hakikat zuhud banyak diungkap Al-Qur’an, hadits, dan para ulama. Misalnya surat Al-Hadid ayat 20-23. Dari ayat itu, kita mendapat pelajaran bahwa akhlak zuhud tidak mungkin diraih kecuali dengan mengetahui hakikat dunia –yang bersifat sementara, cepat berubah, rendah, hina dan bahayanya ketika manusia mencintainya– dan hakikat akhirat –yang bersifat kekal, baik kenikmatannya maupun penderitaannya.
Para ulama memperjelas makna dan hakikat zuhud. Secara syar’i, zuhud bermakna mengambil sesuatu yang halal hanya sebatas keperluan. Abu Idris Al-Khaulani berkata, ”Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan membuang semua harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah lebih menyakini apa yang ada di sisi Allah ketimbang apa yang ada di tangan kita. Dan jika kita ditimpa musibah, maka kita sangat berharap untuk mendapatkan pahala. Bahkan ketika musibah itu masih bersama kita, kita pun berharap bisa menambah dan menyimpan pahalanya.” Ibnu Khafif berkata, ”Zuhud adalah menghindari dunia tanpa terpaksa.” Ibnu Taimiyah berkata, ”Zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat di akhirat nanti, sedangkan wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang ditakuti bahayanya di akhirat nanti.”
Imam Ahmad bin Hanbal membagi zuhud ke dalam tiga tingkatan atau derajat. Pertama, zuhudnya orang awam yaitu meninggalkan sesuatu yang diharamkan. Kedua, zuhudnya orang khawash (orang khusus, orang istimewa), yaitu meninggalkan barang halal, jika barang halal itu dipandangnya telah berlebih dari kebutuhan dasarnya. Dan ketiga, zuhudnya orang ’arif (orang yang mengetahui hakikat Allah), yaitu meninggalkan segala sesuatu yang membuatnya sibuk dan lalai dari mengingat Allah . Banyak orang yang berpandangan sempit terhadap zuhud. Zuhud dianggap harus meninggalkan harta, menolak segala kenikmatan dunia, dan mengharamkan yang halal. Tidak demikian, karena meninggalkan harta adalah sangat mudah, apalagi jika mengharapkan pujian dan popularitas dari orang lain. Zuhud yang demikian sangat dipengaruhi oleh pikiran sufi yang berkembang di dunia Islam. Kerja mereka cuma mengharap belas kasihan dari orang lain, dengan mengatakan bahwa dirinya ahli ibadah atau keturunan Rasulullah saw. Padahal Islam mengharuskan umatnya agar memakmurkam bumi, bekerja, dan menguasai dunia, tetapi pada saat yang sama tidak tertipu oleh dunia.
3. Faqr (Fakir)
Ibrahim ibn Ahmad Al-Khawwash ra. Berkata, ”Kefakiran adalah jubah dari mereka yang mulia, pakaian dari mereka yang telah diberikan sebuah misi, perhiasan para budiman, mahkota kaum bertakwa, hiasan para Mukmin, rampasan para’arifin, peringatan bagi pencari, benteng bagi para ’abid, dan penjara bagi para pendosa .
Simuh (1997:62) mengutip, Abu Bakar al-Mishri berkata ”Fakir yang sesungguhnya adalah tidak memiliki sesuatu dan hatinya juga tidak menginginkan sesuatu”. Sedang Abu ’Abdullah ibn Al-Jalla menjelaskan mengenai hakikat fakir, ”Bahwa engkau tidak memiliki apa pun dan jika engkau memiliki sesuatu, engkau masih tidak memilikinya, dan sejauh engkau tidak memilikinya, engkau tidak memilikinya”.
Ragam interpretasi yang dijumpai di kalangan sufi mengenai istilah Faqr (al Faqr) ini. Meskipun demikian, pesan yang tersirat di dalamnya adalah agar manusia bersikap hati-hati terhadap pengaruh negatif akibat keinginan kepada harta kekayaan (Rivay,2002: 119).
Jelasnya, faqk adalah maqam yang bertujuan untuk menyucikan diri dari segala keinginan selain Allah. Tidak ada yang lebih penting dalam menghambakan diri kepada sang khalik selain membebaskan keterikatan batin kepada selain-Nya. Dengan pengertian bahwa melalui faqr, para salik akan menyadari serba terbatasnya dirinya sebagai hamba. Sehingga, perasaan itu melahirkan kepasrahan dan ketundukan.
4. Sabr (Sabar)
Firman Allah swt. dalam QS. Az-Zumar [39]: 10
...اِنَّمَا يُوَفّٰى الصَّابِرُوْنَ اَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Artinya : “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”.

Al-Ghazali mengatakan,”Sabar berarti bersemayamnya pembangkit ketaatan sebagai ganti pembangkit hawa-nafsu.” Al Junaid berkata bahwa sabar itu, ”menanggung beban demi Allah s.w.t. hingga saat-saat sulit tersebut berlalu”. Sedang menurut Sahl At-Tusturi, ”sabar berarti menanti kelapangan (jalan keluar, solusi) dari Allah.”
Walaupun definisi mengenai sabar dari masing-masing para ulama berbeda, pada hakikatnya adalah sama. Sebab secara garis besar, sabar dimaksudkan sebagai wujud ibadah hamba Allah dalam menggapai keridhaan-Nya. Dan orang yang telah berhasil membentuk dirinya sebagai insan penyabar, ia akan memperoleh keberuntungan yang besar.
5. Syukur
Abdul Fattah Sayyid Ahmad (2000: 124) dalam bukunya Tasawuf: antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, tidak memisahkan antara sabar dan syukur. Bahkan menurut beliau, sabar dan syukur adalah dua buah kata yang digunakan untuk menyebut satu makna. Menguatnya motivasi agama dalam melawan motivasi syahwat, jika dilihat dari sudut pandang dorongan syahwat, disebut ’sabar’. Menguatnya dorongan agama dalam melawan motivasi syahwat, jika dilihat dari sudut pandang motivasi agama, disebut ’syukur’.
Firman Allah swt. dalam QS. Lukman [31]:31,
اَلَمْ تَرَ اَنَّ الْفُلْكَ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِنِعْمَتِ اللهِ لِيُرِيَكُمْ مِّنْ اٰيَاتِه اِنَّ فِى ذَالِكَ
لايَاتٍ لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُوْرٍ
Artinya : “Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebahagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi semua orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur”.

Syukur kepada Allah merupakan bukti atas nikmat dan karunia yang diberikan kepada hamba-Nya (Syamsun Ni’am, 2001: 59). Secara global syukur adalah “Sharfun ni’mah fi ma khuliqat lahu”(menggunakan nikmat yang dikaruniakan Allah kepadanya secara proporsional) . Al-Junaid mengatakan “Bersyukur adalah bahwa engkau tidak memandang dirimu layak menerima nikmat . Dalam dataran aplikatif, syukur tidak hanya diwujudkan dalam lisan semata. Namun juga dinyatakan dalam gerak dan perasaan hati. Dengan demikian syukur itu merupakan perpaduan antara perilaku hati, lisan dan raga.
6. Tawakal
Kata ’tawakal’ diambil dari akar kata ’wakalah’. ”Dia mewakilkan urusannya kepada si fulan”. Kata ’mewakilkan’ di sini berarti ’menyerahkan’ atau ’mempercayakan’. Tawakal berarti menggantungkan hati hanya kepada ’al wakil’ (tumpuan perwakilan) .
Beberapa ulama berpendapat mengenai tawakal ini. Abu Bakar Al-Zaqaq berkata, ketika ditanya tentang tawakal, ”hidup untuk satu hari menenangkan kepedulian akan hari esok”. Ruwaim mengatakan, tawakal adalah percaya akan janji. Dan Sahl ibn ’Abdullah berkata bahwa tawakal itu, ” Menyerahkan diri kepada Allah dalam urusan apa pun yang Allah kehendaki”.
Berbagai sudut pandang dari para ulama dalam membahasakan istilah tawakal. Dan sebenarnya definisi dari mereka tidak saling berseberangan. Bahkan saling melengkapi. Sederhananya, tawakal berarti penyerahan penuh diri hamba kepada sang khalik setelah melalui ikhtiar yang maksimal dari hamba tersebut. Sebab Simuh (1997: 66) menegaskan bahwa tawakal yang didahului dengan ikhtiar merupakan tuntunan syariat Islam.
7. Ridha (Rela)
Ridha berarti penerimaan, tetapi ia juga berarti kualitas kepuasan dengan sesuatu atau seseorang. Ridha digambarkan sebagai”keteguhan di hadapan qadha”. Allah s.w.t. menyebutkan ridha dalam kitab-Nya, Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya (QS. Al-Maidah[5]:119);
...وَرِضْوَانٌ مِّنَ اللهِ اَكْبَرُ...
"...Dan keridhaan Allah adalah lebih besar...” (QS Al-Taubah [9]:72).

Dengan cara demikian, keridhaan Allah swt atas hamba-Nya jauh lebih besar daripada ridha atas-Nya dan mendahuluinya. Dzu Al-Nun berkata,”Kebahagiaan hati dengan berlalunya Qadha”. Ibn ’Atha berkata, ridha adalah takzimnya hati untuk pilihan abadi dari Tuhan untuk sang hamba karena dia tahu bahwa Dia (Allah s.w.t.) telah memilihkan yang terbaik untuknya dan menerimanya serta melepaskan ketidakpuasannya.” Ibnu Khafif mengatakan, ridha adalah kerelaan hati menerima ketentuan Tuhan, dan persetujuan hatinya terhadap yang diridhai Allah untuknya .
Sedang menurut Rabi’ah al-’Adawiyah, ridha adalah ”Jika dia telah gembira menerima musibah seperti kegembiraannya menerima nikmat” Sepertinya pengertian ridha demikian merupakan perpaduan antara sabar dan tawakal sehingga melahirkan sikap mental yang merasa tenang dan senang menerima segala situasi dan kondisi (Rivay, 2002: 122).
Segala peristiwa atau perihal yang terjadi dan dialami dihadapi dengan hati yang tenang. Sekalipun peristiwa itu perkara musibah, kebahagiaan, atau apa saja di matanya sama saja. Ridha merupakan maqam terakhir dari perjalanan salik. Tidak mudah dalam menggapai kedudukan pada maqam ini. Para salik harus berjuang dan berkorban (mujahadah) secara bertahap serta terus-menerus melakukan riadhah. Namun, bukan berarti perjalanan para salik berhenti sampai di sini. Masih ada perjalanan selanjutnya yang mesti ditempuh dan tentunya masing-masing mereka akan mengalami pengalaman spiritual yang berbeda.
D. Hal-hal yang Dijumpai Dalam Perjalanan Sufi
Hal-hal yang dimaksud adalah al ahwal yang dialami para salik dalam menempuh perjalanan menuju ma’rifatullah. Al ahwal tersebut di antaranya: muhasabah dan muraqabah, qarb, hubb, raja’ dan khauf, syauq, uns, thuma’ninah, musyahadah dan yakin (Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, 2000:74). Namun berikut ini adalah penjelasan dari beberapa hal-hal saja:
1. Muhasabah dan Muraqabah
Kedua hal ini dikaji secara bersamaan oleh sebagian sufi. Sebab, keduanya memiliki fungsi yang sama yakni menundukan perasaan jasmani yang berasal dari nafsu dan amarah. Dengan pengertian, kedua hal ini dapat dilakukan secara bersamaan.
Muhasabah (Introspeksi)
Dari Syadad bin Aus r.a., dari Rasulullah saw., bahwa beliau berkata, ‘Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah swt. (HR. Imam Turmudzi, ia berkata, ‘Hadits ini adalah hadits hasan’)
Hadits di atas menggambarkan urgensi muhasabah (evaluasi diri) dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Karena hidup di dunia merupakan rangkaian dari sebuah planing dan misi besar seorang hamba, yaitu menggapai keridhaan Rab-nya. Dan dalam menjalankan misi tersebut, seseorang tentunya harus memiliki visi (ghayah), perencanaan (ahdaf), strategi (takhtith), pelaksanaan (tatbiq) dan evaluasi (muhasabah).
Hal terakhir merupakan pembahasan utama yang dijelaskan oleh Rasulullah saw. dalam hadits ini. Bahkan dengan jelas, Rasulullah mengaitkan evaluasi dengan kesuksesan, sedangkan kegagalan dengan mengikuti hawa nafsu dan banyak angan. Muhasabah dapat diartikan pemeriksaan diri secara terus-menerus, yakni seorang mukmin meninjau kembali ucapan dan perbuatan setiap hari, setiap jam apakah baik atau buruk (Fathullah Gulen, 2001: 28).
Dalam hal ini kritik dirilah yang dijadikan metode dalam pencarian kedalaman batin. Dan ini perlu usaha-usaha spiritual dan intelektual guna memotivasi serta mengembangkan potensi kebaikan pada diri. Mochamad Bugi menjelaskan, dalam Al-Qur’an, Allah swt. seringkali mengingatkan hamba-hamba-Nya mengenai visi besar ini, di antaranya adalah dalam QS. Al-Hasyr (59): 18–19.
Urgensi lain dari muhasabah adalah karena setiap orang kelak pada hari akhir akan datang menghadap Allah s.w.t. dengan kondisi sendiri-sendiri untuk mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya. Allah s.w.t. menjelaskan dalam Al-Qur’an: “Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” (lihat QS. Maryam (19): 95, Al-Anbiya’ (21): 1)
Menurut Ibnu Rajab Al-Hambali dkk.(2004: 93-94), muhasabah sesudah beramal itu ada tiga : (1). Introspeksi diri atas berbagai ketaatan yang telah dilalaikan, yang itu adalah hal Allah swt. Bahwa ia telah melaksanakannya dengan serampangan, tidak semestinya. (2). Introspeksi diri atas setiap amalan yang lebih baik ditinggalkan dari pada dikerjakan. (3). Introspeksi diri atas perkara yang mubah, atas dasar apa ia melakukannya. Apakah dalam rangka mengharap ridho Allah swt dan akhirat, sehingga ia beruntung? Ataukah untuk mengharap dunia dan kefanaannya, sehingga ia merugi?
Muraqabah (Keterjagaan)
Praktik sufi yang sangat penting ialah keterjagaan. Kata Arabnya muraqabah. Ini dipraktikkan agar dapat menyaksikan dan menghaluskan keadaan diri sendiri. Dengan praktik muraqabah timbul kepekaan yang kian lama kian besar yang menghasilkan kemampuan untuk menyaksikan "pembukaan " di dalam. Muraqabah yang terkonsentrasi dan maju terjadi dalam pengasingan diri (khalwat) .Selama pengasingan, dan ketika "pembukaan " yang sesungguhnya terjadi, si pencari akan menerima kekosongan dan ketidakterbatasan waktu yang luas dalam dirinya. Ini merupakan kulminasi, boleh dikatakan, dari kesadaran diri dan keterjagaan diri, dan awal dari apa yang dipandang sebagai proses kebangunan gnostik (makrifat) atau pencerahan. Maksud dari semua ini ialah bahwa orang itu sadar setiap waktu tentang keadaan di dalam batin yang tak terlukiskan, yang tak ada batasnya.
2. Hubb (Cinta)
Cinta dalam bahasa Arab disebut al-hubb atau mahabbah yang berasal dari kalimat habba-hubban-hibban yang berarti waddahu, punya makna kasih atau mengasihi (Louis Ma’luf dalam Syamsun Ni’am, 2001: 111). Dalam Al-Quran banyak dijumpai kata-kata al-hubb atau mahabbah yang bermakna cinta. Diantaranya QS. Al-Baqarah [2]: 165. Al-Ghazali berkata, cinta adalah kecenderungan naluriah kepada sesuatu yang menyenangkan.
Al Junaid berkomentar tentang cinta, ”cinta berarti merasuknya sifat-sifat sang kekasih mengambil alih dari sifat-sifat pecinta”. Ketika Rabi’ah al Adhawiyah ditanya tentang cinta, dia menjawab, ”antara orang yang mencintai (muhibb) dan orang yang dicintai (mahbub) tidak ada jarak (Syamsun Ni’am, 2001: 117).
Definisi dari beberapa sufi irfan tersebut cukup beragam. Sebenarnya untuk memahami mahabbah ini, tidak bisa disamakan dengan istilah cinta yang biasa digunakan. Jelasnya, cinta di sini sangat berbeda dengan pengertian cinta sesama makhluk Tuhan. Cinta yang dimaksud adalah cinta hakiki dari hamba kepada khaliknya. Dengan kata lain, cinta itu perwujudan rasa kedekatan jiwa dan raga seorang hamba dihadapan Tuhannya. Walau cinta merupakan masalah asli dalam irfan (tasawuf), akan tetapi para arif mengaku bahwa mereka tidak mampu memaknai dan mendefinisikan cinta.
Ibnu Arabi yang mengaku bahwa cinta adalah agama serta imannya, akan tetapi tentang cinta ia berkata: “Orang yang mendefinisikan cinta, berarti ia belum tahu arti cinta. Orang yang belum meminum anggur dari cawan, maka ia belum mengetahuinya rasanya. Orang yang berkata; aku telah telah merasakan isi cawan, dimana cinta adalah anggur, maka ia belum mengetahuinya jika belum meneguknya.” Artinya jika seseorang belum mencinta maka ia tidak akan pernah tahu rasanya cinta. Cinta tidak bisa didefinisikan dengan definisi mantiqi, dan dengan satu kali merasakan cinta belum cukup baginya untuk bisa memahami rasa cinta, perjalanan yang tidak ada akhirnya dan manusia tidak akan sampai kepada akhir dan rasa hausnya terhadap cinta tidak akan pernah hilang.
Ibnu Rajab Al-Hambali dkk (2004: 127) mengatakan, cinta yang paling bermanfaat, yang paling wajib, yang paling tinggi, dan yang paling mulia adalah cinta kepada Dzat yang telah menjadikan hati cinta kepada-Nya dan menjadikan seluruh makhluk memiliki fitrah untuk mengesakan-Nya. Artinya, hakikat cinta hanya diperuntukan kepada Allah swt., rab yang Maha Mencintai dan pantas dicintai.
3. Ar Raja’ dan Khauf
Menurut kaum sufi, raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling mempengaruhi (Anwar dan Solihin, 2000: 75). Dengan alasan itu, kedua hal tersebut dipadankan dalam pembahasannya. Ar Raja’(Berpengharapan kepada Allah) Raja’ diartikan berharap atau optimisme , yaitu tenang dan senangnya hati karena menunggu sesuatu yang dicintai .
Karena keterbatasan bahasa Indonesia, tidak ada padanan kata yang sesuai untuk Ar Raja’, yang paling mendekati artinya adalah harapan, meskipun sebetulnya artinya bukan harapan (Nasarudin Umar, 2007.) Sang hamba menebar benih iman, menyiraminya dengan air ketaatan, membersihkan hatinya dari onak akhlak tercela, lalu menunggu anugerah dari Allah s.w.t., yaitu Dia menetapkannya sampai ajal tiba dan husnul khatimah pembuka maghfirah. Dengan itu, raja’ sang hamba adalah raja’ yang benar.
Firman Allah swt. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS.Al-Baqarah [2]: 218)
Ada tiga hal yang dipenuhi oleh orang yang raja’ terhadap sesuatu. Yaitu: Mencintai yang diharapkannya, Takut akan kehilangannya, Usaha untuk mendapatkannya, Raja’ yang tidak disertai dengan tiga perkara di atas, hanyalah angan-angan semata.
Setiap orang yang ber-raja’ pastilah ia orang yang ber-khauf (takut). Khauf (Takut kepada Allah) Abu Hafsh berkata, khauf /takut adalah cambuk Allah s.w.t. yang digunakan-Nya untuk menghukum manusia yang berontak keluar dari ambang pintu-Nya (Mulyad dalam Syamsun Ni’am, 2001: 65).
Khauf dikatakan pula sebagai ungkapan derita hati dan kegundahannya terhadap apa yang akan dihadapi. Sehingga mampu mencegah diri dari bermaksiat dan mengikatnya dengan bentuk-bentuk ketaatan (Ibnu Rajab dkk, 2005: 147).
Allah swt meridhai hamba-Nya yang khauf kepada-Nya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya (QS.Al-Bayyinah [98]:8). Banyak ayat lain yang mengisyaratkan keutamaan khauf ini, diantaranya QS. Al-A’raf [7]: 156, QS. Fatir [35]:28, QS. Ali Imran [3]: 175, dan lainnya.
4. Syauq (Rindu)
Suhrawardi dalam Solihin (2003: 29) berujar, selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan. Kerinduan yang terdalam ingin berjumpa dengan Tuhan, sehingga matinya jasad malah bukan sesuatu yang ditakuti. Bahkan diinginkan para sufi, karena dengan begitu impiannya ingin berjumpa dengan sang maha kasih, Allah s.w.t. dapat terkabul.
5. Uns (Intim)
Uns adalah sifat merasa selalu berteman, tidak pernah merasa kesepian (Anwar dan Solihin, 2000: 76). Untuk mendeskripsikan uns ini, simak petikan syair sufistik berikut: ”Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta.
Seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Ada pula orang yang merasa bising dalam kesepian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau, selalu merasa berteman di manapun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah, artinya engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah” Syair tersebut menggambarkan sekilas perasaan keintiman para sufi dengan Tuhan. Istilah ’intim’ di sini, jelas bukan merujuk pada pengertian hubungan sesama makhluk. Intim hanya digunakan sebagai simbol bahasa dalam memahami kedalaman hubb (cinta) hamba kepada Allah swt. yang disimbolkan sebagai sang kekasih.
E. Metode Irfani
Di samping melalui tahapan maqamat dan ahwal, untuk sampai pada tingkat ma’rifat, para salik harus bersedia menempuh ikhtiar-ikhtiar tertentu, seperti : riyadhah, tafakur, tazkiat an-nafs, dan dzikrullah. Berikut penjelasan masing-masing bagian dari metode irfani tersebut.
(1). Riyadhah
Riyadhah adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak melakukan perihal yang mengotori jiwanya (Solihin, 2003: 54).
Suatu pembiasaan biasanya dilakukan terus-menerus secara rutin sehingga seseorang benar-benar terlatih, khususnya dalam menahan diri agar jauh dari berbuat maksiat atau dosa. Riadhah bukanlah perkara mudah, sehingga Dalam pelaksanaannya diperlukan mujahadah, yaitu kesungguhan dalam berusaha meninggalkan sifat-sifat buruk (Anwar dan Solihin, 2000: 79). Dengan kata lain, riyadhah dapat diartikan sebagai salah satu metode sufistik dengan latihan amal-amal positif (salih) secara istiqamah dan mujahadah guna melenyapkan pengaruh negatif (maksiat) dari jiwa yang terkontaminasi dosa.
Menurut Anwar dan Solihin, setelah riyadhah berhasil dilakukan, maka salik akan memperoleh ilmu ma’rifat. Sehingga salik mampu menerima komunikasi dari alam gaib (malakut). Perkara ini hanya bisa dialami oleh para sufi secara pribadi, belum bisa dibuktikan secara ilmiah (melalui fakta dan data).
(2). Tafakur (Refleksi)
Secara harfiah ’Tafakur’ berarti memikirkan sesuatu secara mendalam, sistematis dan terperinci (Gulen, 2001: 34). Menurut Imam Al-Ghazali (dalam Badri,1989), jika ilmu sudah sampai pada hati, keadaan hati akan berubah, jika hati sudah berubah, perilaku anggota badan juga akan berubah. Perbuatan mengikuti keadaan, keadaan akan mengikuti ilmu dan ilmu mengikuti pikiran, oleh karena itu pikiran adalah awal dari kunci segala kebaikan dan caranya adalah dengan bertafakur.
Bertafakur tentang ciptaan Allah s.w.t. merupakan ibadah mulia yang diserukan Islam. Oleh karena itu, tidaklah heran jika dalam Al-Quran, dalam beberapa ayatnya, kita menemukan perintah untuk bertafakur dan merenungkan segala ciptaan Allah s.w.t. di langit dan di bumi. Al-Quran dalam beberapa ayatnya menggerakan hati manusia dengan mengingat keagungan-Nya. Dalam surat Ali Imran [3] ayat 190-191, Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkannya tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Mentafakuri penciptaan langit dan bumi serta segala peristiwa yang terjadi di dalamnya merupakan suatu hal yang tidak dibatasi oleh faktor ruang dan waktu. Sehingga, pencarian misteri ilahi di dalam kitab semesta itu menjadi perihal menarik yang melahirkan kegembiraan spiritual menyerap cahaya pancaran ma’rifat Allah (Gulen, 2001: 35). Artinya, penelusuran di alam pikiran dan hati tersebut bisa memperkokoh keimanan serta taqarrub hamba kepada Allah s.w.t.
Dalam proses tafakur, persepsi yang didapati dari tafakur itu dihubungkan dengan gambaran masa silam, sekaligus sebagai bahan untuk mendapatkan kemungkinan positif untuk hidup di masa depan. Semua ini berproses dengan penuh cinta, rasa takut, dan tanggungjawab kepada Allah swt.
Oleh karena itu Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa tafakur adalah menghadirkan dua macam pengetahuan di dalam hati untuk merangsang timbulnya pengetahuan yang ketiga. Kekeliruan pengetahuan atau tingkat keilmuannya kurang memadai pada seseorang dapat menyesatkannya atau tafakurnya adalah suatu kesia-siaan. Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan tentang sifat-sifat Allah akan kesulitan dalam menafsirkan beberapa kejadian alam semesta. Tafakur dasarnya adalah ilmu sehingga Islam menganjurkan untuk terus menerus mencari ilmu sebagai bahan tafakurnya.
Fase-fase dalam bertafakur
Menurut Badri (1989) perwujudan tafakur melalui 4 fase yang saling berkait yaitu: (1). Pengetahuan awal yang didapat dari persepsi empiris langsung yaitu melalui alat pendengaran, alat raba, atau alat indera lanilla. (2). Tadhawuk artinya pengungkapan rasa kekaguman terhadap ciptaan atau susunan alam yang indah dari apa yang dilihat atau didengar. (3). Penghubung antara perasaan kekaguman akan keindahan dengan pencipta yang Maha Agung. (4). Syuhud artinya seseorang yang bertafakur, hatinya terbuka untuk menyaksikan keagungan Allah dan dia bersaksi bahwa Dialah yang memberi segala kebaikan. Pada fase ini setiapkali pandangan tertuju pada makhluk Allah, yang dilihatnya adalah pencipta-Nya dan segala sifat keagungan-Nya.
(3). Tazkiyat An-Nafs
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (QS. Asy-Syams [91]: 7-10).
Secara harfiyah (etimologi) Tazkiyat An-Nafs terdiri atas dua kata, yaitu ’tazkiyat’ dan ’an-nafs’. Kata ’tazkiat’, berasal dari bahasa Arab, yakni isim mashdar dari kata ’zakka’ yang berarti penyucian (Ma’aluf dalam Solihin, 2003: 130). Kata ’an-nafs’ berarti jiwa dalam arti psikis. Dengan begitu dapat diketahui Tazkiyat An-Nafs bermakna penyucian jiwa . Tazkiyat An-Nafs (membersihkan jiwa) merupakan salah satu tugas yang diemban Rasulullah saw . Perihal tersebut dapat dilihat dalam QS Al-Jumu’ah [62]: 2. Muhammad Ath-Thakhisi berpendapat, Tazkiyat An-Nafs adalah mengeluarkan jiwa dari ikatan-ikatan hawa nafsu, riya, dan nifaq, sehingga jiwa menjadi bersih, penuh cahaya, dan petunjuk menuju keridhaan Allah (Ath-Thakhisi dalam Solihin, 2003: 131).
Sedang menurut Al-Ghazali dalam Solihin, (2003: 133), Tazkiyat An-Nafs pada intinya diorientasikan pada arti takhliyat an-nafs (pengosongan jiwa dari sifat tercela) dan tahliyat an-nafs (penghiasan jiwa dengan sifat terpuji) Achmad Mubarok (2002: 200) memaparkan, para mufasir berbeda pandangan tentang makna tazkiyat an-nafs, antara lain sebagai berikut: (1). Tazkiyah dalam arti para Rasul mengajarkan kepada manusia, sesuatu yang jika dipatuhi, akan menyebabkan jiwa mereka tersucikan dengannya. (2). Tazkiyah dalam arti menyucikan manusia dari syirik dan sifat rendah lainnya.
(4). Dzikrullah
Istilah ’dzikr’ berasal dari bahasa Arab, yang berarti mengisyaratkan, mengagungkan, menyebut atau mengingat-ingat (Munawir dalam Solihin, 2004: 85). Berdzikir kepada Allah berarti dzikrullah, atau mengingatkan diri kepada Allah sebagai Tuhan yang disembah dengan sebaik-baiknya, Tuhan Maha Agung dan Maha suci (Al-Jilani, 2003: 97). Dzikrullah, adalah tuntunan masalah ruhiyah atau yang berhubungan dengan masalah pengalaman ruhiyah (batin) Al-Quran mengisyaratkan tentang dzikrullah, Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku (QS. Al-Baqarah [2]: 152. Menurut Yunasril Ali (2002: 145), ingat kepada Allah (dzikrullah) setidaknya melibatkan tiga unsur, yakni yang ingat (subyek), yang diingat (obyek) dan aktivitas pengingat.
Berikut penjelasannya:
1. Dzakir (orang yang ingat), yakni pelaku zikir. Segenap orang yang beriman dituntut oleh Allah untuk ingat sebanyak-banyaknya kepada-Nya (lihat QS. Al-Ahzab [33:41). Sebaliknya jika ia lupa, maka ia akan lupa pada dirinya sendiri. (lihat QS. Thaha [20]:124 dan QS. Al-Hasyr [59]: 19).
2. Madzkur (Tuhan yang diingat). Kerinduan dan ingatan pada level tertinggi yang biasa disebut mahabbah Allah swt. Ingat kepada Allah swt setiap saat didasarkan atas pandangan kalbu (ma’rifah atau musyahadah). Hal ini berdasarkan QS Al-Baqarah [2]: 115.
3. Dzikr (aktivitas zikir) itu sendiri. Meliputi berbagai bentuk. Ada yang berbentuk lisan dalam menyebut asma Allah (dzikir lisan atau dzir jahri atau dzikr jali) ada pula yang berbentuk aktivitas kalbu dalam mengingat Allah (dzikr qalbi atau dzikir sirri atau dzikir khafi)
F. Pola Penalaran Islam Klasik
Pemikiran keagamaan Islam merupakan hasil usaha intelektual Muslim dalam mempertemukan wahyu dengan kondisi tertentu atau perkembangan sejarah dalam kurun waktu tertentu. Dapat dikatakan bahwa pemikiran keagamaan Islam serta konsep yang terkait di dalamnya tidak bisa dilepaskan dari perubahan sejarah yang mengitarinya. Ungkapan demikian dapat dilihat dalam khasanah keilmuan Islam klasik, baik dalam bidang pemikiran filsafat, kalam, fiqih maupun tasawuf.
Dalam pemikiran filsafat Islam terdapat dua pola penalaran, yaitu filsafat Islam aliran Peripatetisme (Masyaiyyah) dan Illuminasionisme (Isyraqiyyah) (Rosenthal: 2001). Peripatetisme adalah aliran Filsafat yang mendasarkan pada deduksi rasional atau logika formal, sebagaimana yang dirintis oleh Aristoteles.
Munculnya aliran ini merupakan upaya filosof Muslim secara spekulatif untuk memadukan ajaran Islam dengan ajaran filsafat rasional dari Yunani tentang Tuhan, alam dan manusia. Filosof Muslim yang tergolong dalam aliran ini di antaranya adalah Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina. Sedangkan, Illuminasionisme adalah aliran filsafat Islam yang bercorak mistik dan berusaha memadukan pengetahuan intuitif dengan argumen rasional. Dengan metode ini, seorang filosof akan mencapai pencerahan (illuminate).
Illuminasionisme muncul sebagai ekspresi ketidakpuasan filosof Muslim terhadap pola aliran pertama yang hanya menggunakan argumen rasional dan mengabaikan unsur intuitif dalam menggapai kebenaran. Aspek rasionalitasnya merupakan pengaruh dari filsafat Yunani, sedangkan aspek intuitifnya merupakan ajaran tasawuf dan pengaruh dari penalaran intuitif Persia kuno. Filosof kenamaan dalam aliran ini adalah Shihab Ad-Din Suhrawardi.
Pola yang kedua ini mengalami perkembangan, dan mencapai puncaknya pada masa Shadr Ad-Din Syirazi. Pola penalarannya disebut Hikmah Muta’alliyah (Kearifan Puncak). Oleh sebagian pemikir Muslim, Hikmah Muta’alliyah dinilai sebagai penyempurnaan atas pola yang kedua. Sebagian pemikir lain menyatakan bahwa hikmah muta’alliyah merupakan pola tersendiri dalam filsafat Islam, meskipun berupa kesinambungan dari pola kedua.
Dikatakan sebagai pola tersendiri, karena Mulla Shadra mengambil sumber filsafatnya dari kedua aliran sebelumnya dan dari theosofi Ibn ‘Arabi (Fazlurrahman, 1975: 10). Dalam pemikiran kalam dapat dijumpai dua macam pola penalaran yang dominan. Pertama, pola penalaran yang lebih mendahulukan akal dari pada wahyu.
Pola ini juga disebut paham rasionalisme dalam Islam, sebagaimana yang tampak dalam aliran Mu’tazilah. Secara historis, munculnya aliran ini merupakan rangkaian dari persoalan politik, utamanya mengenai khalifah yang melakukan dosa besar. Menurut Washil ibn ‘Atho’, pendiri Mu’tazilah, orang yang berdosa besar tidak Mukmin dan bukan kafir, tetapi berada di antara keduanya. Pandangan ini merupakan hasil dialektika pemikiran, yang sebelumnya telah muncul pemikiran ekstrem bahwa, pembuat dosa besar adalah kafir (paham Khawarij) dan masih tetap beriman (Murji’ah) (Harun Nasution, 1987). Di samping itu, kemunculan Mu’tazilah juga hasil pergumulan antara Islam (khususnya di Bashrah) dengan paham Hellenisme Yunani dan dualisme Manichaen.
Lantaran ajaran al-manzilah baina al-manzilatain ini, ajaran-ajaran Mu’tazilah lainnya selalu didasarkan pada argumentasi rasional. Manusia bisa hidup sesuai dengan aturan Tuhan tanpa melalui wahyu. Karena dengan akalnya, manusia bisa mengetahui perbuatan baik, mengetahui Tuhan dan kewajiban berterima kasih kepada Tuhan.
Pola penalaran kedua dalam pemikiran kalam adalah mengutamakan wahyu dari pada akal, sebagaimana yang tampak dalam aliran Asy’ariah. Paham Asy’ariah yang disebut paham Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah, berpendirian bahwa akal tidak bisa membawa manusia kepada kehidupan yang benar yang sesuai dengan ajaran Tuhan. Oleh karena itu, manusia harus menggunakan wahyu agar bisa hidup sesuai dengan ajaran Tuhan.
Secara historis, paham ini merupakan reaksi terhadap aliran Mu’tazilah yang sangat mengagungkan akal manusia dalam memberikan argumentasinya. Asy’ariah tidak mendorong pada berkembanganya pemikiran ilmiah filosofis sebagaimana Mu’tazilah (Harun Nasution, 1995: 155).
Dalam pemikiran tasawuf, secara garis besarnya terdapat dua pola penalaran, yaitu pola falsafi dan akhlaki. Tasawuf falsafi, adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya mendorong manusia untuk menyucikan diri agar jiwanya bisa kembali kepada Tuhan atau menyatu dengan-Nya. Dalam proses penyucian diri, apabila telah sampai pada maqam ma’rifah, ajaran tasawuf falsafi cenderung mengabaikan syari’ah (aturan-aturan agama yang bersifat formal-skriptural). Di antara konsep-konsep dalam pola ini adalah ma’rifah (dari Dzunnun Al-Mishri), mahabbah (dari Rabi’ah Al-Adawiyah), Wahdat Al-Wujud (dari Ibn ‘Arabi), Ittihad (Abu Yazid Al-Busthami), hulul (dari Ibn Mansur Al-Hallaj).
Pola Tasawuf Falsafi ini muncul sebagai akibat dari perjumpaan ajaran Islam tentang zuhud dengan ajaran pantheisme (kesatuan Tuhan dan makhluk), gnotisisme Alexandrian, ajaran nirvana agama Budha, dan ajaran brahman dan atman agama Hindu.
Pola Tasawuf Akhlaki adalah pola Tasawuf yang ajaran-ajarannya kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, untuk pendalaman batiniah agar memeroleh akhlak yang luhur. Seperti yang tampak pada ajaran Abu Zhar Al-Ghifari, seorang sufi yang taat dengan ajaran sunnah, dan Al-Ghazali, seorang sufi yang berusaha ‘menghidupkan’ kembali Sunnah Nabi.
Secara historis, berkembangnya Tasawuf Akhlaki pada akhir abad I H sampai awal abad II H, dan abad V H merupakan ‘pelarian’ sebagian Muslim dari kekacauan tatanan politik, di samping sebagai pengamalan ajaran yang bersumber dari ajaran Islam. Sebab-sebab lainnya adalah reaksi terhadap munculnya berbagai ajaran Tasawuf Falsafi yang dipandang menyimpang dari ajaran Islam serta merebaknya berbagai aliran teologi dan filsafat di dunia Islam (Said Basil, 2003: 3).
Dalam sejarah pemikiran hukum Islam, diketahui ada dua pola yang dominan di kalangan para pendiri madzhab dalam penggunaan akal untuk memahami dan menjabarkan ajaran Islam tentang hukum. Pertama, pola penalaran yang mengutamakan penggunaan Hadits untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang selanjutnya dikenal Ahl Al-Hadits. Pola ini dipelopori oleh Anas ibn Malik di Madinah. Oleh karena Anas ibn Malik hidup di tengah-tengah masyarakat yang berpegang teguh pada Sunnah dan perilaku sahabat, maka penalarannya cenderung mengutamakan Hadits (Muhammad Al-Bahy, 1987: 3).
Secara berturut-turut, proses pengambilan hukum Islam menurut pola ini adalah: Al-Qur’an, Ijma’ Sahabat, Hadits, Qiyas, dan Maslahah Mursalah. Ulama yang mendekati pola ini adalah Muhammad ibn Idris Asy-Syafii. Perbedaannya adalah proses pengambilan hukum berdasarkan urutan: Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Pola yang dominan kedua adalah lebih mendahulukan akal dari pada Hadits dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang selanjutnya dikenal Ahl Ar-ra’yi. Ulama yang termasuk dalam pola ini adalah Abu Hanifah.
Secara historis, pengaruh lingkungan di mana ia hidup dan dididik serta kebiasaan cara berpikir bebas sangat dominan dalam pemikirannya. Pemikirannya yang rasional juga disebabkan oleh penyebaran Hadits Kuffah kurang banyak, tidak seperti tersebarnya Hadits di Makkah dan Madinah. Rasionalitasnya dalam pengambilan hukum Islam tampak dalam metode istimbath-nya yang secara berurutan mendahulukan Al-Qur’an kemudian disusul Qiyas, Ijma’, Hadits, Istihsan, dan ‘Urf.
Relevansi Metodologis Sebagaimana disebutkan di muka, bahwa perbedaan historisitas pemahaman antara masa lalu dengan masa sekarang dan yang akan datang, memungkinkan terjadinya perbedaan produk pemikiran. Kendati demikian, bukan berarti khazanah masa lalu tidak ada relevansinya sama sekali untuk pengembangan pemikiran Islam masa sekarang dan masa depan.
Berikut ini uraian beberapa contoh yang membuktikan bahwa, tidak sedikit khazanah pemikiran masa lalu yang masih relevan untuk menjawab problem dan tantangan kontemporer. Pemecahan problem kebekuan pemikiran Islam kontemporer mustahil dapat dilakukan jika tidak melihat problem pemikiran Filsafat Islam klasik. Secara metodologis, filsafat Islam klasik telah meletakkan dasar-dasar bagaimana meramu sumber ajaran Islam dengan tradisi pemikiran lain, Hellenisme Yunani. Aspek positif dari Filsafat Islam klasik yang relevan untuk menjawab tantangan kontemporer adalah keharusan berpikir dan sikap terbuka terhadap pemikiran lain.
Sebagai misal, Ibn Rusyd adalah seorang filosof yang piawai dalam meramu ajaran Islam dengan filsafat Yunani. Pemikiran-pemikirannya yang rasional tidak menjadikannya berpaling dari Tuhan. Ibn Rusyd dan filosof Muslim lainnya memberi nuansa filsafat Yunani dengan nilai dasar Islam (Nurcholish Madjid, 1992: 232).
Dalam konteks kekinian, keterbukaan itu diwujudkan dengan cara memelajari filsafat, ilmu pengetahuan, dan teknologi modern yang berkembang di Barat, atau dari mana pun asalnya. Pemikiran Islam akan terasa lebih dinamis manakala umat Islam mendialogkan diri dengan tradisi-tradisi keilmuan lain. Proses shifting paradigm menuju pencerahan pemikiran Islam yang berkemajuan telah dirintis oleh sejumlah intelektual Muslim. Mereka berpikir secara filosofis dan praktis untuk memecahkan persoalan di Indonesia.
Upaya ini cukup berhasil di tingkat elit Muslim kendatipun masih banyak tatangan dari cendekiawan lain. Akan lebih bisa bertahan jika upaya demikian itu dilakukan secara bersama-sama dalam suatu institusi. Pengaruh nyata dari filsafat dalam Islam adalah munculnya pemikiran kalam yang aplikatif-modernis. Kalam merupakan bentuk lain dari usaha umat Islam klasik memertahankan kemurnian ajaran Islam dari serangan tradisi pemikiran lain. Apa yang dilakukan para Mutakalimin cukup membuktikan bahwa Islam mampu menghancurkan alam pikiran asing yang merusak ajaran Islam, sekaligus menunjukkan orisinalitas rasionalisme Islam.
Sikap rasional-teologis, untuk memecahkan problem kekinian, adalah suatu keharusan. Munculnya istilah teologi yang dipadu dengan istilah baru menunjukkan adanya dialetika antara kalam klasik dengan modernitas. Semuanya bermuara bagaimana Islam mampu mendorong kepada umatnya untuk memecahkan problem kemiskinan ekonomi, keterbelakangan pendidikan, dan keterasingan rakyat dari politik. Pengaruh Filsafat Islam dan rasionalisme kalam juga merambah dalam pemikiran hukum Islam atau Fiqih.
Dalam khazanah pemikiran hukum Islam dikenal adanya ijtihad (usaha secara sungguh-sungguh untuk menggali ajaran Islam dari sumbernya). Ijtihad merupakan wujud kegiatan akal dan menjadi prinsip gerak dalam Islam. Ijtihad telah dicontohkan para sahabat, dan ulama klasik seperti Umar ibn Khattab, Anas ibn Malik, Muhammad ibn Idris Asy-Syafii, Ibn Hambal, dan masih banyak lagi lainnya.
Ilmu pengetahuan dan teknologi, di samping memberi manfaat yang banyak bagi kehidupan, juga memunculkan problem baru di masyarakat. Misalnya, seorang wanita berkat kecerdasannya dan penguasaannya dalam ilmu tertentu berpeluang menjadi pemimpin nasional. Oleh karena itu, umat Islam saat ini harus melakukan ijtihad baru tentang kepemimpinan politik, perburuhan, perbankan, dan lain sebagainya. Agar dapat melakukan ijtihad diperlukan keberanian-keberanian yang mungkin saja bertentangan dengan produk pemikiran hukum lama.
Di samping itu, juga harus memahami situasi sosio-kultural dan politik yang sedang berlangsung. Terakhir, Tasawuf sebagai warisan klasik yang pantas diambil nilai-nilainya untuk dipraktikkan dalam kehidupan modern. Di atas telah disinggung, Tasawuf bertujuan membersihkan hati dan membentuk pribadi luhur. Kebersihan dan kepribadian luhur sangat dibutuhkan dalam kehidupan modern ini.
Di antara problem yang melekat pada manusia modern adalah kencenderungan hidup hedonistik dan materialistik serta semakin jauh dari kebahagiaan ruhani. Kecenderungan demikian menumbuhkan sikap rakus, tama’, hirs dan, takabbur. Dari sikap ini, muncul perilaku menyimpang, seperti korupsi, kolusi, dan tindak kekerasan serta pemerkosaan.
Ajaran-ajaran tasawuf sangat dibutuhkan untuk menangkal pola hidup seperti itu. Di antara ajaran tasawuf yang sangat relevan untuk kehidupan saat ini adalah zuhud, taubat, shabar, dan bersyukur. Nilai-nilai demikian akan memberikan keseimbangan hidup antara jasmani dan ruhani. Melalui tasawuf, manusia tidak semata-mata mengejarkesenangan material, tetapi juga ditunjukkan kebahagian spiritual. Kebahagiaan spiritual yang dimaksud bukan kebahagiaan yang melalaikan manusia dari kehidupan di dunai, seperti dalam Tasawuf Falsafi, tetapi kebahagian spiritual yang menumbuhkan gairah hidup di dunia berdasarkan ajaran Islam.
G. Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia
Tasawuf, sebagai aspek mistisme dalam islam, pada intinya adalah kesadaran adanya hubungan komunikasi dengan Tuhannya, yang selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat (qubr) dengan Tuhan. Hubungan kedekatan tersebut dipahami sebagai pengamlan spiritual dzauqiyah manusia dengan Tuhan, yang kemudian memunculkan kesadaran bahwa segala sesuatu adalah kepunyaan-Nya. Segala eksistensi yang relatif dan nisbi tidak ada artinya dihadapan eksistensi yang absolut.
Hubungan kedekatan dan hubungan penghambaan sufi dan khaliq-nya akan melahirkan persepektif dan pemahaman yang berbeda - beda anatar sufi yang satu dengan sufi lainnya. Keakraban dan kedekatan ini mengalami elaborasi sehingga akan melahirkan dua kelompok besar. Kelompok pertama mendasarkan pengalamannya kesufiannya dengan pemahaman yang sederhana dan dapat difahami oleh manusia pada tataran awam, dan pada sisi lain akan melahirkan pemahaman yang kompleks dan mendalam, dengan bahasa- bahasa simbolik - filosofis.
Pada pemahaman yang pertama kemudian melahirkan tasawuf sunni, yang tokoh - tokohnya anatar lain Al Junaid, Al Qusyairi, dan Al Ghazali. Sedangkan pemahaman yang kedua menjadi tasawuf falsafi, yang tokoh - tokohnya antara lain Abu Yazid Al Busthami, Al Hallaj, Ibnu Arabi, dan Al Jilli.
Di kalangan penganut tasawuf falsafi itu lahirlah teori - teori seperti fana, baqa dan ittihad ( yang dipelopori oleh Abu Yazid Al Busthami,Hulul (yang dipelopori oleh Al Hallaj), Wahdat Al Wujud (yang dipelopori oleh Ibn Arabi), Insan Kamil (yang dipelopori oileh Al Jilli), yang tidak diakui oleh kalangan tasawufs sunni.
Kendati sufi sunni juga mengakui kedekatan manusia dengan Tuhannya, hanya saja masih dalam batas- batas syariat yang tetap membedakan manusia dengan Tuhan. Teori - teori tersebut lahir karena kaum sufi falsafi mengakui " kebersatuan" itu, dengan alasan bahwa manusia adalah manusia, sedangkan Tuhan adalah Tuhan, yang tidak mungkin dapat bersatu antar keduanya.
Konsekuensi terhadap adanya faham "kebersatuan" yang diajarkan kaum sufi falsafi itu membuat mereka melacak asal – usul dirinya dan segala wujud yang ada.
Menurut mereka, manusia sebagai makhluk sempurna merupakan pancaran atau turunan dari wujud sejati yang menurunkan wujud - wujud-Nya dari alam rohani ke alam materi dalam bentuk manifestasi wujud secara berurutan (gradasi wujud, hierarki wujud). Proses penurunan wujud ini dalam perbendaharaan sufi dinamakan dengan tanazzul, yang dikenal melalui bentuk penyingkapan diri (tajalli), baik tajalli dzati (ghaib) maupun tajalli syuhudi seperti yang dikonsepsikan oleh Ibnu Arabi. Konsep tanazil dan tajalli ini juga dapat ditemukan dalam pemikiran Al Jilli. Menurutnya proses tanazzul berupa tajalli Tuhan yang berlangsung secara terus - menerus pada alam semseta terdiri atas lima martabat secara berturut-turut yaitu uluhiyyah, ahadiyyah, wahidiyah, rahmaniyah, rububiyah. Kelihatanya konsep seperti ini mirip dengan teori emanasi dari Al Farabi.
Pada akhirnya kedua Konsep pemikiran tentang tanazzul tadi, baik Ibn Arabi maupun Al Jilli memiliki pandangan yang sama, yaitu bahwa manusia sebagai manifestasi Tuhan merupakan akhir dari manifestasi-Nya dan sekaligus menjadi titik tolak untuk mengenal dan kembali kepada-Nya. Dengan mengenali diri manusia maka Tuhan akan dikenal karena segenap citraNya telah terangkum dalam dirri manusia itu sendiri sebagai manusia sempurna (insan Kamil). Inilah yang dimaksud dengan ungkapan yang banyak digunakan oleh kaum sufi, "barang siapa yang mengeal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya."
Selain penggambaran tanazzul yang telah disebutkan diatas, terdapat penggambaran lain yang khas yang digambarkan lewat dunia wujud atau alam - alam ('awalim) wujud. Penggamabaran tersebut dilihat dari sudut pandang perwujudan dan diperoleh ma'rifat yang diistilahkan dengan al hadharat (kehadiran - kehadiran), meliputi martabat asasi bagi wujud alam semesta yang tersusun dari tajalli - tajalli. Penggambaran yang dianggap paling sistematis dari al hadharat, seperti yang disampaikan oleh Abu Thalib Al Makki (wafat 368 H / 996 M ) adalah Huhut ( Esensi atau realitas absolut ), Lahut ( realitas being yakni Tuhan atau Pribadi Tuhan ), Jabaraut (alam malaikat), Malakut (alam gaib) dan Nasut (alam manusia).
Teori - teori tentang tanazzul dan tajalli yang dikemukakan para tokoh sufi falsafi di atas ternyata pada perkembangan sejarahnya tersebar luas hampir keseluruh dunia Islam seiring dengan tersebar dan berkembangnya agama Islam ke seluruh pelosok dunia, termasuk ke Indonesia. Adapun di Indonesia, teori tanazzul yang berdasar pada konsep - konsep pemikiran Ibn Arabi dan Al Jilli itu kemudian mengkristal menjadi konsep Martabat Tujuh. Konsep ini merupakan tingkatan - tingkatan perwujudan melalui tujuh tingkat martabat, yaitu ahadiyah, wahdah, wahidiyah, alam arwah, alam mitsal, alam ajsam dan alam insan.
Martabat - martabat ahadiyah, wahdah dan wahidiyah disamakan juga dengan maratib al ilahi (jabatan - jabatan Tuhan) .Pada Maratib Ilahi itu, martabat wahdah sebagai perantara yang menghubungkan anatara ahdiyah dan martabat wahidiyah yang tidak dikenal dalam teori - teori tanazzul sebelumnya.
Martabat alam arwah, alam mitsal dan alam ajsam disebut juga dengan maratib al kawni (jabatan - jabatan duniawi). Sedangkan pada martabat insan terkumpul semua martabat yang ada sebelumnya (al jami) dan dipandang sebagai martabat yang sempurna. Oleh karena itu dalam martabat ini terdapat insan kamil sebagai wadah tajalli Tuhan yang sempurna.
Konsep Martabat Tujuh yang masih sangat terkait dengan pemikiran Ibnu Arabi dan Al Jilli itu diterima dan dikembangkan oleh para tokoh sufi dari berbagai daerah di Indonesia, misalnya Syamsuddin As Sumatrani (dari Pasai Aceh), Abd. Ra'uf As Sinkli (Singkil Aceh), Abd Shamad Al Palimbani (Palembang - Sumatera Selatan), Abd. Muhyi Pamijah (Jawa Barat), dan Muhammad Aidrus (Buton - Sulawesi). Mereka mengembangkan pemikiran sufistik Indonseia dengan wacana dan pendekatan tarekat - atrekat yang menyertainya.
Pemikiran-pemikiran tasawuf fasafi diatas tidak lantas begitu saja diterima oleh tokoh - tokoh tasawuf sunni. Golongan yang disebut kedua ini bahkan menolak pemikiran - pemikiran tasawuf yang filosofis karena menurut mereka hal itu akan membawa kecederungan pantheisme. Dan ternyata ada tokoh yang mengklaim para penganut martabat tujuh dan wujudiyah sebagai kufur atau zindik. Polemik di antara kedua kubu penganut tasawuf ini begitu mewarnai sejarah perkembangan dan pemikiran tasawuf di Indonesia, sejalan dengan proses masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia.
Berdasarkan hal di atas, perkembangan Islam di Indonesia sangat terkait sejarah dan pemikiran tasawuf. Atau dengan kata lain penyebaran Islam di Nusantara tidak dapat dipisahkan dari tasawuf. Bahkan " Islam Pertama " yang dikernal di Nusantara ini sesungguhnya adalah Islam yang disebarkan dengan sufistik. Para penyebar Islam di Indonesia itu umunya pada Da'i yang memiliki pengetahuan dan pengamalan tasawuf. Diantara mereka juga banyak yang menjadi pangamal dan penyebar tarekat di Indonesia.











REFERENSI
Abdul Fattah Sayyid Ahmad, DR., Tasawuf: antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, Jakarta: Khalifa, 2000.
Abdul Qadir al-Jilani, Syekh, Rahasia Sufi, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.
Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
C.Ramli Bihar Anwar, Bertasawuf Tanpa Tarekat: Aura Tasawuf Positif, Jakarta: Penerbit IIMAN bekerjasama dengan Penerbit HIKMAH, 2002
Fathullah Gulen, Kunci-Kunci Rahasia Sufi, Jakarta: Srigunting, 2001.
Ibnu Rajab Al-Hambali, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Imam Al-Ghazali, Tazkiyatun Nafs: Konsep Penyucian Jiwa Menurut Ulama Salafusshalih, Solo: Pustaka Arafah, 2005.
Michael A. Sells, Prof., Terbakar Cinta Tuhan: Kajian Eksklusif Spiritualitas Islam Awal, Bandung: Mizan, 2004.
Mukhtar Solihin, Tasawuf Tematik: Membedah Tema-tema Penting Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia, 2003.
Mukhtar Solihin, Terapi Sufistik: Penyembuhan Penyakit Kejiwaan Perspektif Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia, 2004.
Rivay Siregar, Prof. H. A., Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002
Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV.Pustaka Setia, 2000.
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997.
Syamsun Ni’am, Cinta Ilahi: Perspektif Rabi’ah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi, Surabaya: Risalah Gusti, 2001.
Syayid Abi Bakar Ibnu Muh. Syatha, Missi Suci Para Sufi, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003
Yunasril Ali, Jalan Kearifan Sufi: Tasawuf sebagai Terapi Derita Manusia, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2002.

Tidak ada komentar: